Wednesday 25 April 2012

#31 Hotel on the Corner of Bitter and Sweet by Jamie Ford


“Berapa lama kau akan menungguku, Henry?”
“Selama yang dibutuhkan…”
“Bagaimana kalau aku tetap di sini sampai tua dan ubanan—”
“Kalau begitu aku akan membawakanmu tongkat.”

Henry dan Keiko adalah korban perang Amerika-Jepang (1942). Mereka lahir dan tumbuh di Amerika, dalam masa perang tersebut. Henry adalah anak keturunan China, sementara Keiko keturunan Jepang. Persahabatan mereka, yang diwarnai cinta remaja, terpaksa berakhir karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Empat puluh tahun kemudian, Henry, yang baru kehilangan istri tercintanya, tergugah untuk mencari benda peninggalan Keiko di sebuah hotel yang menjadi ciri khas kota Seattle, sekaligus tempat penyimpanan benda-benda keluarga Jepang di masa perang. Akankah pencarian ini akhirnya membuat Henry menemukan jawaban atas penantiannya di masa lalu?

^^^^^^^^^

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca Chicken Soup for Lover Soul. Dari sekian banyak cerita, ada sebuah kisah tentang persahabatan di saat Nazi menguasai Jerman. Dikisahkan ada seorang anak laki-laki yang selalu berdiri di samping pagar tinggi yang membatasi antara kamp konsentrasi dan dunia luar. Setiap hari menjelang makan siang anak laki-laki itu dikunjungi oleh seorang anak perempuan yang selalu membawakannya sebutir apel merah. Terkadang mereka saling sapa kadang hanya tersenyum. Suatu ketika anak laki-laki itu berkata "Besok jangan bawakan aku apel lagi. Karena aku akan dipindahkan." setelah mengatakan hal itu dia langsung berlari meninggalkan anak perempuan tersebut dan menangis setelahnya.

Saya begitu teringat pada cerita tersebut sewaktu membaca Hotel on the Corner of Bitter and Sweet ini. Cinta dalam sebuah persahabatan yang tumbuh ditempat yang bahkan tidak terduga sekalipun. Pada tahun 1942, Henri, seorang anak laki-laki keturunan China yang lahir dan besar di Amerika Serikat. Dibawah didikan sang Ayah yang sangat nasionalis dan membenci Jepang seumur hidupnya, karena menganggap Jepang telah mengambil alih dan memporak porandakan tanah leluhurnya di China, Henri dilarang untuk bergaul dengan siapapun yang berdarah Jepang.
Untuk menjadikan Henri sosok yang Amerika, Ayahnya melarang untuk berbahasa Kanton di rumah, menyekolahkan Henri di sekolah kulit putih, dan menyuruh Henri memakai bros "Aku Orang China" sebagai pembeda yang cukup jelas akan sosoknya yang keturunan China bukan Jepang. Namun ternyata, takdir punya jalannya sendiri. Justru di sekolah yang dianggap sang Ayah Henri tak akan bertemu dengan anak-anak berdarah Jepang, Henri bertemu dengan Keiko. Keiko adalah seorang anak perempuan keturunan Jepang yang lahir dan besar di Amerika. Dia bahkan tak bisa sama sekali berbahasa Jepang.

Persahabatan itu berlangsung tanpa sepengetahuan Ayah Henri, namun kedua orangtua Keiko menerima kehadiran Henri dengan besar hati. Saat terjadinya peristiwa pengeboman Pearl Harbor, warga keturunan Jepang yang ada di Amerika Serikat pun menjadi pesakitan. Mereka terpaksa meninggalkan harta benda mereka dan mengungsi ke beberapa kamp yang telah disediakan. Diantara rombongan yang mengungsi itu termasuk keluarga Keiko. Selama beberapa waktu Henri bertemu dengan Keiko di kamp pengungsian dengan bantuan Sheldon, seorang musisi jazz berkulit hitam dan Mrs. Beatty penjaga kantin di sekolah Henri. Ketika kunjungan-kunjungan itu tak mungkin lagi dilakukan, mereka pun bertemu melalui surat. Akhirnya surat-surat itu pun perlahan-lahan menghilang oleh karena keadaan yang memaksa, dan semua tentang Keiko, kencan pertama mereka, lagu jazz mereka, tersimpan di benak Henri dan di ruang bawah tanah Hotel Panama.

Empat puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1984, Henri berdiri di depan Hotel Panama sedang mengalami pembongkaran di lantai bawah tanahnya. Di saat itulah ia melihat kembali payung Jepang, terbuat dari bambu, merah terang dan putih dengan ornamen lukisan koi, ikan gurame yang mirip ikan mas raksasa. Payung yang mengembalikan ingatannya akan masa-masa perang dan cinta pertamanya.

^^^^^^^^^

Pahit sekaligus manis, tepat sesuai judulnya. Begitulah cita rasa buku ini. Tak hanya bicara tentang cinta sepasang anak manusia, ada juga tentang bakti kepada orang tua dalam hubungan Henri dan kedua orang tuanya maupun Henri dengan Marty putra semata wayangnya. Juga tentang kepatuhan istri terhadap suami seperti yang ditunjukkan ibu Henri terhadap suaminya, dan tentang rasa nasionalisme, rasa memiliki tanah air tempat hidup dan mengabdi meskipun tak mempunyai darah yang sama dengan yang lain.

Mengambil setting rentang waktu yang sangat jauh berbeda, 1942 saat terjadinya Perang Dunia ke II dan 1984 masa sekarang yang relatif lebih tenang adalah kelebihan novel ini. Dengan rentang waktu itu pembaca dapat melihat bagaimana waktu dan masa lalu membentuk kepribadian seseorang. Bukankah peristiwa masa lalu yang membentuk sosok manusia di masa kini? Sebuah pesan sederhana tentang bagaimana kehidupan harus terus berjalan meski terkadang masa lalu datang kembali menghantui masa kini.

Bicara tentang cover, saya lumayan suka dengan cover terbitan Matahati ini. Payung berwarna pink dengan lukisan ikan koi dan guguran bunga Sakura di bagian depan cover dan pohon Sakura yang sedang berbunga di bagian belakang cover. Seolah-olah menggambarkan suasana musim semi dimana bunga-bunga Sakura terbang tertiup angin. Tapi, saya jauh lebih menyukai cover terbitan Ballantine Books. Terasa lebih syahdu dengan sosok laki-laki berpayung berdiri memandang ke laut lepas.


Ohya, Hotel Panama yang memang menjadi titik sentral dalam buku ini, sampai kini masih berdiri tegak di Seattle. Hotel yang berdiri pada 1910 oleh seorang arsitek berkebangsaan  Jepang  bernama Sabro Ozasa saat ini menawarkan Historical - Educational Tours kepada pada pengunjungnya, dengan fokus utama pada Tea House yang menampilkan foto-foto tempo dulu keadaan hotel tersebut. Hotel ini semakin dikenal sejak namanya masuk dalam buku Hotel on the Corner of Bitter and Sweet. (disarikan dari sini, sini, dan sini)

Pic taken from here
Pic taken from here

Sang pengarang sendiri, Jamie Ford adalah seorang warga Amerika Serikat keturunan China yang sama sekali tak mampu berbahasa China. Di situs resminya, Jamie Ford menyelipkan beberapa foto yang menginspirasinya dalam menulis Hotel on the Corner of Bitter and Sweet. Ada foto Nihonmachi, kamp Minidoka, gadis kecil yang sedang menunggu untuk diberangkatkan ke kamp, Oscar Holden, bahkan plang di depan toko-toko Jepang yang menyatakan pemiliknya seorang Amerika.

Penulis : Jamie Ford
Penerbit : Matahati
Kategori :Historical Fiction, Young Adult
ISBN : 9786029625561
Rating : untuk kisah pahit namun manis ini.

PS : buku ini masuk dalam Posting Bersama Blogger Buku Indonesia dengan tema Buku Matahati yang posting bersama pada 25 April 2012.

Monday 23 April 2012

#30 Goodnight Tweetheart by Teresa Medeiros


“Hallo, Dr. Evil. Tentunya kau tidak berpikir kau bisa menghindar dariku selamanya.” (Abby Donovan – p. 247)

@PenulisButuhIde
Setelah novel debutnya menjadi buku pilihan Oprah, Abby Donovan punya utang besar: menyelesaikan buku keduanya, yang sementara ini mandek pada Bab Lima. Jadi, sebenarnya Twitter hanya mengganggu konsentrasinya.
Trending Topic: True Love
Follower ber-ID MarkBaynard—dosen sinis yang sedang cuti panjang, begitu katanya—mengajarinya banyak hal tentang Twitter, sehingga Abby tak kesulitan menyuarakan pikirannya dalam 140 karakter. Tak lama, halangan menulisnya pun berangsur-angsur sirna.
Masalahnya, benarkah Mark Baynard nyata? Ataukah kedekatan mereka hanya ilusi sekejap yang tercipta di dunia maya?
#FollowToday
Kisah ini ditulis hampir seluruhnya dalam dialog tweet dan DM. Seperti rekaman chatting dengan teman yang kita simpan untuk dibaca lagi di kemudian hari.

* Kunjungi Teresa Medeiros di teresamedeiros.com dan follow @teresamedeiros di Twitter.

^^^^^^^^^
Social media sepertinya sudah menjadi bagian hidup masyarakat saat ini. Seiring waktu kemunculan social media itu pun timbul tenggelam. Satu yang sedang populer saat ini adalah twitter. Masyarakat pun seperti berbondong-bondong memiliki akun di social media dengan lambang si burung biru ini. Mulai dari remaja, dewasa, penjual keripik, presiden, menteri, atau siapapun itu yang memiliki (atau diperkirakan bakal memiliki) tampuk suatu kekuasaan pun memilikinya.

Abby Donovan, penulis yang sedang mengalami writer's block akhirnya memiliki akun di twitter, yang dibuatkan oleh publisisnya. Di hari pertama ia membuka akun twitternya, ia berkenalan dengan seseorang yang mengaku bekerja sebagai dosen sastra Inggris yang sedang berlibur panjang di dataran Eropa. Percakapan yang pada awalnya hanya sebagai kegiatan pengisi waktu luang dimana Mark mengajari step-by-step bertwitter menjadi serius. Saking seriusnya mereka sampai berkencan, tentu saja di dunia maya.

Tweet-tweet mereka baik dalam bentuk tweet maupun Direct Message cukup menghiburkan dan mendominasi isi buku ini. Meskipun beberapa cukup vulgar. Dan percakapan itu selalu dimulai dengan "Kau pakai baju apa?" serta diakhiri oleh "Goodnight tweetheart..." yang tak pernah berbalas, dan pada satu kesempatan "Goodnight tweetheart" itu sempat berubah menjadi "Sweet dreams, tweetheart". Pada suatu ketika kebohongan dalam setiap percakapan itu terungkap, masing-masing kehilangan pegangan. Sosok yang selama ini menghiasi lini masa mendadak bungkam. Tak tahu harus berkata apa. Namun, seberapa pahitnya kebenaran yang terungkap, ia tetaplah yang terbaik. Meski tidak terasa baik-baik saja bagi kedua pihak.

^^^^^^^^^
"Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat." itulah ungkapan yang tepat untuk disematkan untuk dunia maya. Siapa saja bisa kita temui di dunia maya, mulai dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan, mulai dari negara dengan empat musim hingga negara hanya dengan dua musim. Dengan orang-orang itu kita bahkan tak akan pernah mengenalnya. Dia dimana, kita dimana. Namun kebaikan, perhatian mereka terkadang bagi kita melebihi kebaikan dan perhatian orang-orang yang kita kenal di dunia nyata.

Itulah yang sering dirasakan oleh banyak orang, sekaligus melupakan kenyataan bahwa kemanisan bahasa tak selalu berarti kemanisan hati. Ya... dunia maya juga menyimpan sisi gelapnya. Menyimpan sekaligus menyadarkan siapa saja bisa menjadi siapa atau apa pun yang ia inginkan. Itulah pesan yang diselipkan Teresa Medeiros dalam buku ini.

^^^^^^^^^
Alurnya yang cepat, penokohan yang tidak terlalu banyak, dengan PoV dari sisi Abby, setting yang hanya terfokus pada apartemen Abby,  dan cerita pendukung yang tak terlalu banyak memakan porsi cerita adalah kelebihan dari buku ini. Belum lagi celetukan-celetukan di antara Abby dan Mark dan nama-nama tokoh dari serial-serial populer yang selalu mereka pakai setiap akan menutup percakapan mereka. Namun sayang, cerita akhir yang mengambang membuat saya gemes pada buku ini. Seperti sengaja dipotong untuk dilanjutkan di buku berikutnya.

Bicara cover, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan saya tidak menyukai cover terbitan Gramedia. Meskipun berwarna cerah namun tidak menggambarkan judul buku. Kemana hilangnya burung biru yang menjadi icon twitter? Jika mau diganti minimal buatlah huruf "t" pada "Goodnight Tweetheart" menyerupai huruf "t" icon twitter. Akan lebih terasa kuat kesan twitter yang terangkum dalam judulnya. 

Saya lebih menyukai cover aslinya karena ada si burung biru di sana. Ditambah dengan gambar secangkir kopi dengan bentuk hati pada buih kopi dan sekantung kertas gula pasir yang bertuliskan "A Love Story in 140 Characters or Less" yang menjadi tagline yang tepat bagi buku ini.


Penulis :  Teresa Medeiros
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 248
Kategori : Contemporary Romance
ISBN : 9789792278378
Rating : untuk kisah dalam tweet Abby si penulis dan Mark si professor.


Tuesday 17 April 2012

#29 Sunset Bersama Rosie by Tere Liye



“Bukankah Uncle selalu bilang kita tidak boleh melupakan masa lalu. Berdamai tapi tidak melupakan.” (Sakura – p. 229)
Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan memiliki harga dan batasan? Atau priceless, tidak terbeli dengan uang, karena hanya kita lakukan untuk sesuatu yang amat spesial di waktu yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis, karena kita lakukan saja, dan selalu menyenangkan untuk dilakukan berkali-kali.
Sebenarnya, siapakah yang selalu pantas kita sayangi?
Sebenarnya, apakah itu arti 'kesempatan'? Apakah itu makna 'keputusan'?
Bagaimana mungkin kita terkadang menyesal karena sebuah 'keputusan' atas sepucuk 'kesempatan'?

Sebenarnya, dalam hidup ini, ada banyak sekali pertanyaan tentang perasaan yang tidak pernah terjawab. Sayangnya, novel ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Novel ini ditulis untuk menyediakan pengertian yang berbeda, melalui sebuah kisah di pantai yang elok. Semoga setelah membacanya, kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita sebut dengan kamar 'pemahaman yang baru'.

^^^^^^^^^^

Malam masih belum larut saat Tegar melakukan teleconfrece dengan sahabatnya Nathan dan Rosie yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan bersama keempat putri mereka, Anggrek, Sakura, Jasmine dan si kecil Lili di kafe milik Kadek di Jimbaran, Bali. Keempat anak-anak itu sangat heboh melakukan teleconfrence dengan Paman, Uncle, Om yang paling hebat, keren, dan super mereka. Saat itu juga menjadi momen yang meluluhlantakkan kehidupan mereka semua sebagaimana Bom meluluhlantakkan kafe Kadek pada malam itu.


Tanpa pikir panjang Tegar bergegas ke Bali mencari kabar kondisi terbaru keluarga Nathan. Terlalu terburu-burunya, ia sampai melupakan janji terpentingnya kepada Sekar. Di Bali ia mendapati Nathan meninggal dunia akibat cedera kepala parah, sementara Sakura mengalami patah tulang, syukurlah keadaan yang lain baik-baik saja.


Konon menurut Kubler-Ross ada beberapa fase emosi manusia yang berduka akibat kematian. Salah satu fase tersebut adalah depresi, yang juga dialami oleh Rosie. Akibat beratnya depresi yang dialami Rosie, Tegar memutuskan untuk memasukkan Rosie ke dalam shelter perawatan penanganan masalah kejiwaan. Ya... semenjak kejadian bom di Jimbaran Tegar mengambil alih urusan pengelolaan resor Nathan dan Rosie. Pengambilalihan itu juga berarti ikut mengurus seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan Nathan, juga berarti Tegar kembali melupakan janjinya pada Sekar.


Masalah muncul ketika ternyata perasaan yang puluhan tahun dipendam Tegar kepada Rosie menyeruak kembali. Perasaan yang diyakini Tegar telah berubah dari cinta seorang laki-laki kepada perempuan menjadi cinta sebagai satu keluarga. Ah... benarkah rasa cinta itu bisa bertransformasi meskipun terendap puluhan tahun, menjelma dalam masa-masa penuh kerja keras tak kenal lelah demi melupakan rasa sakit di hati, menjelma dalam bentuk keluar dan hilang dari kehidupan yang dicintai???

^^^^^^^^^^

Pada dasarnya kisah ini adalah kisah cinta biasa. Cinta Lama Belum Kelar Bersemi Kembali. Namun menjadi berbeda saat Tere Liye mengisahkannya. Jatuh bangun emosi yang dialami semua tokoh cukup mengaduk-aduk perasaan. Belum lagi renungan perasaan yang dilakukan Tegar membuat saya berkali-kali menutup buku, menarik nafas panjang sejenak karena seakan ada beban yang menyesak di dada, lalu mempertanyakan kembali renungan perasaan Tegar kepada diri sendiri. Tegar sendiri bagi anak jaman sekarang termasuk kategori susah move on. Tapi bisakah seorang Tegar move on dengan cepat??? Melupakan cinta yang dipendam selama dua puluh tahun??? Mungkin butuh waktu dua puluh tahun juga untuk melupakan cinta itu. Tegar juga so lovable dengan segala kelebihan  dan kekurangannya. Sepertinya seorang Tegar Karang bakal masuk dalam Kandidat Best Book Boyfriend 2012.big grin


Tak hanya ada cinta di buku ini. Ada juga maaf yang teramat besar yang diajarkan oleh Anggrek, Sakura, Jasmine dan Lili. Sungguh, anak-anak adalah guru terhebat bagi orang dewasa. Mereka punya hati yang tak terkotori oleh penyakit hati apapun. Mereka mengajarkan pada kita bagaimana memaafkan siapa pun yang pernah menyakiti kita. Mengajarkan bagaimana memahami indahnya menerima, memaafkan, tapi tidak melupakan.

"Jasmine... Jasmine tidak akan membenci. Demi Paman Tegar yang mengajarkan Jasmine menyulam, merajut. Jasmine... Jasmine tidak akan pernah membenci Om. Karena Jasmine percaya apa yang Paman Tegar bilang. Sungguh percaya. Ayah, kata Paman Tegar, Ayah tersenyum senang di surga kalau Jasmine bisa memaafkan Om." (p. 245)


Pic taken from here
Cara Tere Liye menggambarkan Gili Trawangan sungguh membuat saya ingin datang sendiri ke pulau itu dan merasakan keindahannya. Dan terutama ingin menyaksikan sunset yang selalu mampu memukau Tegar. Bicara tentang cover, dengan sangat menyesal harus saya katakan saya tidak menyukai cover terbitan Mahaka Publisher ini. Memang suasana sunset yang dijadikan cover sesuai dengan judul cerita. Namun penempatan bunga Mawar sebagai lambang atas nama Rosie, namun terasa kurang tepat bagi saya. Mungkin jika bunga tempelan itu tidak ada, covernya akan terasa jauh lebih manis, setidaknya menurut saya. Mungkin gambar disebelah kiri lebih pantas dijadikan cover. Sunset yang diabadikan di Gili Trawangan.

Alur ceritanya yang cepat dengan penokohan yang tak terlalu banyak, ditambah konflik yang minim membuat buku ini cepat diselesaikan. Tapi bukan berarti buku ini datar dan hanya cukup enak dibaca. Cara Tere Liye menuturkan cerita yang membuat emosi teraduk-aduk justru yang menjadi kekuatan dalam buku ini. Adegan yang paling saya sukai dalam buku ini adalah adegan yang berlangsung di ruang persidangan. Menohok perasaan sekaligus mengajarkan tentang kebesaran hati dalam memaafkan.
"Di antara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu yang paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun muncul di menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang menggambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan nafas tertahan." (p. 421) 


Penulis : Tere Liye
Penerbit : Mahaka Publisher
Halaman : 429
Kategori : Contemporary Romance
ISBN : 9786028357029
Rating :  untuk kisah ketegaran Tegar dan Rosie.


Monday 16 April 2012

#28 Confessions of a Call Center Gal by Lisa Lim



"Impianku adalah menjadi seorang penulis, dan aku berutang pada diriku sendiri  untuk mengejar impian itu." (Maddison Lee - p. 437)

Madison Lee adalah mahasiswi yang baru menyelesaikan kuliahnya dan siap berkiprah di dunia media massa. Namun, kenyataan berbicara lain. Putus asa dan tak punya pilihan lain, ia menerima lowongan sebagai gadis call center.

Di Lightning Speed call center di Spudsville, Maddy mulai menggeluti dunia customer service yang liar, aneh, dan sering kali menyebalkan di mana penjualan lebih membanggakan daripada layanan dan delapan jam kerja berarti delapan jam menerima telepon yang mengaduk-aduk emosi.

Tapi di tengah hiruk-pikuk itu, Maddy berhasil menemukan penghiburan saat on maupun off dari telepon. Bahkan getar-getar cinta menyusup sejak kehadiran seorang Mika Harket, sesama karyawan call center yang menawan.

Membaca novel ini membawa Anda ke dunia call center yang norak sekaligus menyenangkan, kejam sekaligus mengasyikkan. Tak akan terlupakan...

^^^^^^^^^

Tak pernah ada pekerjaan yang rendah di dunia ini. Selama dirimu bekerja dan tak bergantung pada orang lain, selama itulah kau seorang yang merdeka atas hidupmu.

Terancam menjadi pengganguran setelah tamat kuliah dengan hanya dua pilihan, bekerja di tempat yang tidak sesuai dengan ijazahmu atau menjadi pengangguran. Maddison Lee atau yang lebih dikenal dengan Maddy lebih memilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazahnya. Dan... bersama Kars, sang sahabat ia bekerja di Lightning Speed, sebuah perusahaan operator penyedia jasa telepon genggam. Meskipun pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya.


Ternyata tak hanya pekerjaan yang ada di kubikel-kubikel di Lightning Speed. Ada kehidupan juga disana, seperti yang dirasakan Maddy. Di mendapatkan sahabat baru, si Truong, pria keturunan Vietnam dengan orientasi seksual lebih menyukai sesama jenis. Ada cinta, yang dirasakannya pada Mika, si Dewa Matahari. Dan tak lupa, ada pertengkaran serta kecemburuan. 

"Sudah hampir seminggu berlalu, dan kami masih tidak saling percaya. Aku benar-benar sedih, dan rasanya menyakitkan menyadari bahwa seekor ular licik seperti Bob Seely berhasil memisahkan kami." (p. 129)

Pelan-pelan Maddy mulai bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Belajar untuk tidak merasakan pongah saat seorang pelanggan menyatakan rasa terima kasih atas bantuannya yang teramat besar dengan berencana mengirimkan masakan buat Maddy. Belajar untuk menahan amarah saat menerima keluhan dari pelanggan, yang memperlakukannya seolah-olah ia hanyalah seperangkat komputer yang tidak punya perasaan dan telah terprogram untuk menyelesaikan masalah apapun. Belum lagi kebijakan perusahaan dan tekanan yang diberikan sang supervisor yang terkadang tidak masuk diakal.

 "Kadang-kadang, hanya untuk iseng, aku membuat suaraku terdengar seperti robot supaya si penelpon berpikir mereka sedang berbicara dengan mesin, dan menutup telepon." (p. 312)

Walaupun mendapat kenaikan pangkat yang membuatnya bisa lebih dekat lagi dengan sang pujaan hati, Mika, namun ternyata Maddy masih menyimpan hasrat untuk bekerja sesuai dengan bekal yang didapatnya di bangku kuliah dan mengejar mimpinya yang belum sempat direalisasikannya.
"Impianku adalah menjadi seorang penulis, dan aku berutang pada diriku sendiri  untuk mengejar impian itu." (p. 437)

^^^^^^^^^

Saat Mbak Fanda, mengatakan chicklit ini adalah chicklit cerdas, yang terlintas di otak saya adalah "Secerdas apa sih??? Palingan cuma ngomongin soal cinta." dan meskipun buku ini masuk dalam daftar wishlist, namun setiap saat memesan buku via bookstore online buku ini selalu saja tersisihkan. Terganti oleh buku lain yang lebih menarik perhatian saya.


Namun setelah saya membaca buku ini, saya setuju dengan ucapan mbak Fanda. Chicklit ini tidak melulu bicara tentang cinta, kegalauan, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Ada pesan yang diselipkan Lisa Lim dalam buku ini. Pesan bagaimana kita tidak memandang rendah pada setiap pekerjaan. Pesan bagaimana kita tidak menganggap remeh orang-orang yang pekerjaannya setiap hari "hanya" menjawab keluhan yang masuk. Pesan bagaimana kita harus lebih memandang mereka bukan sebagai robot namun sebagai manusia yang punya hati, punya masa ketika emosinya sedang labil, dan punya hak untuk diperlakukan dengan baik oleh para pelanggan.


Selain ceritanya yang tidak biasa untuk ukuran sebuah chicklit, alur ceritanya juga nyaman diikuti karena perpindahan antara alur satu dengan lain berjalan mulus sehingga tidak terasa buku ini selesai begitu saja.

Bicara tentang cover... saya sangat menyukai cover terbitan Gradien Mediatama ini. Gambar seorang cewek berambut pendek berkemeja biru yang sedang memakai headset (yang kata Truong adalah bando) dikepalanya, benar-benar menggambarkan sosok seorang gadis call center. Sementara cover edisi lainnya tak begitu tepat menggambarkan sosok gadis yang dimaksud.

 


Oh... di buku ini memang tidak ada adegan termasuk kategori vulgar, namun ada beberapa istilah yang mengacu pada alat kelamin yang lumayan jelas penyampaiannya , setidaknya bagi saya, dan jelas pelakunya siapa lagi kalau bukan Truong.


Kutipan lain yang saya sukai dari buku ini diantaranya...

"Kehilangan beliau membuatku merasa hancur. Aku kehilangan ayah sekaligus sahabat baikku. Beliau adalah hal paling nyata yang pernah kumiliki, dan ketika pergi beliau meninggalkan sebuah lubang menganga dalam hidupku." (p. 63) 
"Jadi sama dengan bahasa Inggris. Cara terbaik untuk belajar dan menikmatinya adalah dengan membaca sesuatu yang membuatmu terpikat. Begitu kamu mulai membacanya, kamu nggak akan bisa berhenti." (p. 82) 
"Aku selalu merasa hubungan yang paling baik dimulai dari persahabatan yang baik."  (p. 423) 
Judul Saduran : Pengakuan Gadis Call Center
Penulis : Lisa Lim
Penerbit : Gradien Mediatama
Halaman : 462
Kategori : Contemporary Romance
ISBN : 9786022080435
Rating :  untuk si cewek call center, Maddy.

Sunday 15 April 2012

#27 I Hate Rich Men by Virginia Novita

“Takdir memang lucu. Kita benar-benar tidak bisa mencegah siapa yang akan kita temui dalam hidup kita.” (p. 182)
 
Adrian Aditomo benar-benar tipikal pria kaya yang dibenci Miranda, tidak peduli betapa tampan dan seksinya pria itu. Sifatnya angkuh dan begitu superior.

Ada lagi, pria itu sinting! Adrian berani menculik Miranda hanya untuk mengatakan kalimat yang tidak masuk akal—“Adik Anda merebut tunangan saya,” kata pria itu dingin.

“Hah?” Hanya itu yang bisa dikatakan Miranda. Apakah orang yang dimaksud pria itu adalah Nino? Nino-nya yang masih berumur tujuh belas tahun dan masih polos? Tidak mungkin Nino-nya yang masih remaja itu menyukai wanita yang lebih tua, apalagi milik orang lain!

Demi untuk membersihkan nama baik Nino, Miranda terpaksa bekerja sama dengan Adrian. Hal yang sangat sulit dilakukan karena mereka berdua tidak pernah sependapat dan selalu bertengkar.

Seharusnya sejak awal Miranda menolak berurusan dengan Adrian. Ia benar-benar mengabaikan firasatnya. Firasat yang mengatakan Adrian mampu menjungkir-balikkan hidupnya dan terutama... hatinya. 


^^^^^^^^

Bangun pagi, masih memakai baju tidur bergambar Aurora, Miranda mengalami penculikan yang membawanya ke pulau Dewata, Bali. Di sana ia bertemu denganAdrian yang mengaku jika tunangannya direbut oleh Nino, orang terdekat Miranda.

Tidak terima atas tuduhan itu, Miranda menerima tawaran Adrian untuk mematai kegiatan Nino yang juga berada di Bali. Malang, di beberapa kesempatan Nino terlihat bersama Jess meskipun kebersamaan itu tidak terlalu mencolok.

Saat kembali ke Jakarta, Miranda dan Adrian telah menyadari bahwa kebersamaan mereka yang singkat tersebut telah menjadikan perasaan mereka berubah. Ada cinta yang hadir diantara mereka. Namun, Donnie seseorang di masa lalu dan Hendra, pria yang lebih dulu mendekati Miranda sebelum kejadian penculikan tersebut, muncul dan mengubah semua yang seharusnya terjadi.

^^^^^^^^^

Ada beberapa roman terjemahan yang biasa disebut dengan Harlequin yang mengingatkan saya pada cerita dibuku ini. Namun hal tersebut tetap tidak mengurangi kenyamanan saya saat membaca buku ini. Mengapa? Jelas yang pertama karena settingnya di Indonesia tepatnya di pulau Bali. Lalu gaya bahasanya yang tidak baku, meskipun beberapa bagian terasa agak sedikit ganjil saat perpindahan bahasa baku dengan non baku, namun tetap terasa nyaman. Fonts yang cukup besar juga tidak membuat mata lelah.

Bicara cover, warnanya sungguh cemerlang. Kuning terang dengan gambar kartun sepasang cewek cowok. Dimana si cowok berpakaian jas lengkap dengan sepatu pantofelnya yang mengkilap, menggambarkan sosok sukses seorang Adrian. Dan cewek berbaju kaos bercelana jeans yang robek pada lututnya dan sepatu kets melengkapi penampilannya.

Kekurangan buku ini mungkin terletak pada beberapa adegan yang saya rasa agak terlalu lebay. Salah satunya adegan Miranda ke sekolah dengan terburu-buru dengan baju yang super cuek, ataupun kesukaannya pada cerita-cerita dongeng. Seharusnya bisa dibuat wajar saja, toh siapapun tidak dilarang bisa menyukai cerita-cerita tesebut, namun saking favoritnya hingga baju tidurnya pun bergambar Princess Aurora??? Please... memang Miranda masih dan berjiwa muda, tapi sosoknya sekarang sudah menjelma menjadi seorang ibu, ditambah dengan pengalaman berat membesarkan buah hati sendirian tanpa status menikah setidaknya cukup membuat seorang Miranda lebih dewasa dan bijaksana bukan???. Bukan seperti gadis masa kuliah yang masih gokil. Setidaknya Miranda bisa ditampilkan lebih kalem.

Penulis : Virginia Novita
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 288
Kategori : Contemporary Romance
ISBN : 9789792278453
Rating : untuk penculikan Miranda oleh Adrian.

Tuesday 10 April 2012

#26 Dark Hunter : Dark Hunter #3 - Dance With The Devil by Sherrilyn Kenyon


“Aku ke sini untuk menjemput mawarku, kalau dia bersedia pulang bersamaku. (Zarek of Moesia – p. 435)

Astrid, putri bungsu Dewi Keadilan Yunani, diutus untuk menentukan nasib seorang Dark Hunter. Selama ini, Astrid tidak pernah memberikan keputusan tidak bersalah kepada Dark-Hunter yang dinilainya, terutama setelah tugas terakhirnya yang hampir membuatnya terbunuh. Astrid juga sudah mati rasa, sehingga ia tidak ingat kapan terakhir kalinya ia menangis atau tertawa. Dan kondisi inilah yang ia alami sejak ia memutuskan untuk menjadi hakim.

Zarek of Moesia dianggap sebagai Dark Hunter yang paling berbahaya. Ia tidak mau mengikuti perintah, dianggap bengis dan sinting oleh rekan-rekannya. Sejak kecil, keberadaannya sebagai budak tidak diinginkan oleh siapa pun juga, sampai akhirnya ia dihukum mati karena kejahatan yang tidak dilakukannya. Akibatnya, Zarek memendam amarah, kepedihan, sekaligus kesedihan di dalam dirinya. Dalam benaknya, ia masih menganggap dirinya seorang budak, dan tidak pernah memercayai siapa pun, termasuk dirinya sendiri.

Sampai akhirnya Zarek bertemu dengan Astrid yang mampu mengguncang dunianya. Tanpa disadari, ia perlahan mulai membuka diri kepada wanita yang telah menerimanya dengan apa adanya itu. Di lain pihak, Astrid yang mampu menembus ke dalam hati Zarek, merasakan kepedihan Zarek dan itu membuatnya ingin membantu Dark Hunter itu dengan setulus hati. Hati Astrid yang sudah lama mati mulai merasakan berbagai emosi lagi, dan semua itu karena Zarek. Mampukah Astrid menaklukkan sekaligus menyembuhkan binatang buas yang terluka di dalam diri Zarek? Dan apakah Zarek akhirnya mampu memercayai Astrid untuk membantunya meraih kebahagiaan dan kebebasan?

^^^^^^^^^

Pengalaman dan tindakan masa lalulah yang merekayasa diri kita saat ini.  

Abadi sebagai salah satu dari anggota Dark Hunter menjadi Zarek seorang Dark Hunter yang sadis, pembangkang, dan terkenal dingin. Sedingin tempat tinggal sekaligus tempat pengasingannya selama sembilan ratus tahun, Alaska.

Pada kehidupan yang terdahulu, Zarek merupakan seorang budak yang bertugas menerima hukuman bila saudaranya berbuat salah. Ya... selain budak, Zarek adalah seorang anak haram dari seorang penguasa terkenal di era Yunani Kuno. Cambukan, tendangan, cacian, dan segala bentuk penindasan telah dirasakan Zarek sejak usia kecil. Bahkan ketika meninggal pun, dirinya meninggal dalam kondisi mata buta, kaki pincang, sekujur badan penuh luka serta dilempari batu akibat kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Hidup yang tak pernah ramah, menjadikannya sosok yang tak kalah menyeramkan setelah ia menjadi Dark Hunter. Dengan panjangnya daftar kesalahan, membuat Zarek menjadi seorang pesakitan. Zarek menunggu keputusan final dari hakim yang ditugaskan kepadanya tanpa ia ketahui, Astrid.

Berhari-hari Astrid bersama Zarek, dirinya menemukan kejutan di luar dugaan atas diri Zarek. Bahkan mereka memiliki satu buku favorit, yang tentu saja tak ingin diakui Zarek. Pelan-pelan Astrid mulai mengetahui cerita kehidupan Zarek di masa lalu.

"Tidak, Princess. Hanya orang-orang yang punya uang dan kekuasaan yang punya pilihan. Sedangkan yang lain, kebutuhan dasar mendiktekan apa yang harus kami lakukan untuk bertahan." (p. 180)

Suatu ketika, Zarek tiba-tiba diserang oleh musuh lamanya Thanatos. Pertarungan sengit itu membuat kediaman Astrid hancur total serta Astrid menjadi sasaran berikutnya dalam pertarungan itu. 

 "Mati itu mudah. Hidup yang susah." (p. 292)

Menyadari Thanatos akan tetap mengejar Astrid, Zarek meninggalkan Astrid di kabin bawah tanahnya bersama Simi, iblis peliharaan Acheron. Zarek sendiri pergi menghadapi Thanatos. Setelah pertarungan itu berakhir dan keputusan final terhadap keberadaan Zarek di dunia telah dijatuhkan, Astrid pun pergi kembali ke Olympus dengan membawa setengah hatinya.
"Bagaimana aku bisa tertawa kalau aku tidak punya hati?" (p. 435)

^^^^^^^^^

Buku ini adalah buku ketiga dari serial Dark Hunter. Sebagaimana cerita Dark Hunter yang lain, cerita ini pun memiliki alur yang sama dan dapat ditebak akhir ceritanya. Namun, cerita tentang latar belakang Zarek sebelum menjadi Dark Hunter cukup menarik perhatian. Menggambarkan bagaimana pengalaman masa lalu terutama sewaktu kecil membentuk sosok manusia pada saat ia dewasa. Betapa benarnya salah satu ungkapan dari Dorothy Law Nolthe,  

Jika anak dibesarkan dengan Celaan, ia belajar Memaki
Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, ia belajar Berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan Cemoohan, ia belajar Rendah Diri
Jika anak dibesarkan dengan Penghinaan, ia belajar Menyesali Diri

Hidup Zarek setelah ia menjadi Dark Hunter, ia selalu saja memancing pertarungan, bersikap kasar, melanggar peraturan, dan anti sosial. Saat ia bertemu dan jatuh cinta pada Astrid, ia selalu menarik diri dari Astrid karena Astrid keturunan para dewi sementara dirinya hanya seorang budak.

Bicara tentang cover... saya suka dengan cover terbitan Dastan ini. Sosok seorang cowok berkaos hitam dengan jaket hitam sebagai pelengkap. Ditambah dengan latar gedung yang dipenuhi cahaya lampu  pada malam hari dan tak lupa butiran salju yang jatuh turun dari langit. Dan... saya suka dengan sosok cowok yang ditampilkan hanya setengah wajahnya. Rahang bawahnya cukup kokoh. Saya suka. batting eyelashesbatting eyelashesblushingblushing 

Judul Saduran : Berdansa Dengan Iblis
Pengarang : Sherrilyn Kenyon
Penerbit : Dastan Books
Halaman : 456
Serial : Dark Hunter #3
Kategori : Paranormal Romance
ISBN : 9786029267242 
Rating : untuk Zarek, Dark Hunter yang penuh kepahitan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...