Monday 17 March 2014

#131 London : Angel by Windry Ramadhina

Judul : London : Angel
Sub Judul : -
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media, tahun 2013
Halaman : 330
Format : paperback
Status : punya sendiri
Genre : Contemporary Romance
ISBN : 9789797806538

Periode Baca : 05/03/2014 - 08/03/2014

Blurb

Pembaca Tersayang,

Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.

Windry Ramadhina, penulis novel Orange, Memori, dan Montase mengajak kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tidak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemukannya. Apakah perjalanannya ini sia-sia belaka?

Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.

Enjoy the journey,
EDITOR


Review
 Sudah cukup lama buku ini berada dalam timbunan saya. Tapi entah kenapa selalu saja terasa berat untuk membacanya. Sewaktu Lilis @ Purple Bookish selesai membaca Memori dari pengarang yang sama dengan buku ini, langsung saja saya mengajaknya untu baca bareng buku ini.

Gilang, penulis yang masih belum menyelesaikan buku perdananya karena tersedat di bab yang itu-itu saja, pergi ke London untuk menyusul teman masa kecilnya Ning, lewat sebuah acara kumpul-kumul sambil mabuk bareng sahabatnya. Gilang dipengaruhi oleh sahabat-sahabatnya untuk untuk menyusul Ning yang saat ini bekerja di sebuah galeri seni modren di kota London.

Ketika Gilang tiba di London Ning malah sedang ditugaskan ke Cambridge untuk mengambil sebuah lukisan. Kedatangan Gilang memang tak diberitahukan kepada Ning karena ia ingin pertemuan mereka menjadi sebuah kejutan. Ning baru muncul di hari ke tiga dari lima hari rencana Gilang berada di London. Selama 3 hari tanpa Ning, Gilang sendirian menyusuri kota London berkebal peta dari Mr. Lowesley, laki-laki yang sering berada di penginapan yang ditinggali Gilang. 

Dalam penjelajahan mengelilingi kota London, Gilang bertemu dengan dua orang cewek. Ayu, sesama orang Indonesia yang jutek luar biasa yang berkeliling London demi mencari cetakan pertama buku Wuthering Heights. Dan seorang gadis berpayung merah yang muncul ketika hujan datang dan langsung menghilang begitu hujan reda. Kehadiran si gadis misterius yang dipanggil Gilang dengan julukan Goldilocks itu sangat menguntungkan Gilang. Ia merekomendasikan tempat-tempat seru di kota London dan juga menyediakan payung. London ternyata sering dilanda hujan pada musim tertentu.

Ketika Ning pulang, dia tak dapat menutup kebahagiaan bertemu dengan Gilang. Perjalanan Gilang di kota London semakin berwarna karean Ning mengajaknya menyusuri galeri seni favoritnya dan juga Tate Modren, galeri seni tempat Ning bekerja. Menjelang hari terakhirnya di London bersama Ning, akhirnya Gilang nekat menyatakan isi hati yang dipendamnya selama bertahun-tahun pada Ning. Ia tak ingin pulang dari London dengan status hati tak jelas. Ia ingin Ning tak hanya jadi sahabatnya.


^ ^ ^

Pada dasarnya saya suka pada cerita buku ini. London seakan begitu dekat dari sini. Semua tempat bahkan tradisi warga kota London dibahas lengkap. Keberatan saya terletak pada karakter Gilang yang terlalu plin plan. Dan juga pada pemberian julukan-julukan bagi setiap orang yang dikenal Gilang itu agak terasa membosankan bagi saya. Kenapa tidak memakai nama asli si tokoh saja. Atau jika ingin memberi julukan, cukuplah hanya pada satu atau dua tokoh saja. Meski julukan-julukan itu terasa familier karena diambil dari karakter-karakter klasik tapi tetap saja bagi saya porsinya berlebihan. Tidak nyaman saat membacanya.

Side story antara Mr. Lowesley dengan Madam Ellis, pemilik penginapan yang ditinggali Gilang, justru lebih menarik perhatian saya ketimbang cerita utama antara Gilang dan Ning. Saya suka bagaimana Mr. Lowesley menyelipkan pesan-pesan tersembunyi tentang isi hatinya lewat buku-buku yang ada di perpustakaan  mini di ruang makan penginapan Madam Ellis.

Quotes favorit dalam buku iniadalah adegan percakapan antara Gilang dan Mr. Lowesley ketika mereka mabuk di bar :
"Perempuan. Mereka masalah paling memusingkan."
"Terkadang, kau merasa begitu dekat dengan mereka tapi, pada saat yang bersamaan, kau merasa begitu jauh." (p. 205)

Membaca buku ini membuat say ingin datang ke London dan menapak tilas semua tempat yang disebutkan dalam buku ini. Dan mungkinsaja ketika hujan turun di kota itu saya bisa bertemu dengan Goldilocks, si gadis misterius.

Rating 
1 untuk kisah Madam Ellis dan Mr. Lowesley
1 untuk sahabat-sahabat Gilang yang sangat setia
1 untuk perjalanan Gilang ke London yang tak 'kan pernah menjadi suatu kesia-siaan.





PS: buku ini dibaca bareng Lilis @ Purple Bookish

@ Medan
16032013

7 comments:

  1. Ah! Belum baca yang ini :3 abisnya covernya kurang memukau hehee..
    Tapi anehnya setelah baca review-an Mbak ini tiba-tiba mupeng >< singkat, padat, jelas, dan buat penasaran, dulu pas baca ANGEL, aku kira berkaitan tentang malaikat-malaikat gitu hehe eh taunya gabungan dari nama-nama tokohnya. Suka sama quotenya, tapi pria kan juga memusingkan. Kisah apa antara madam Ellis dan Mr. Lowesley? Apa kaitan dengan kisah Gilang-Ning-Ayu? Duh duh *goyang-goyang celengan :D* *siapin alat nyusup pengambil uang di celah celengannya:D

    ReplyDelete
  2. Aku baru saja menyelesaikan buku yang kupinjam dari perpustakaan di kota tempat tinggalku ini. Pada halaman-halaman awal terasa menjemukan, flat, dan ada perulangan kalimat yang semestinya tak perlu terjadi. Penulis sudah memiliki cukup jam terbang dalam menulis, so dia pasti tahu apa yang harus ditulis dalam bukunya. Kedataran pada halaman-halaman awal ini mau tak mau membuat aku lompat jauh ke jauh halaman berikutnya. Meski pada halaman-halaman berikutnya, kembali kumenemukan kedataran :(

    Aku sepakat sama kamu tentang nama samaran kawan-kawan Gilang yang menjemukan. Kenapa nggak ditulis nama panggilan aslinya aja trus sepintas kilas dijelaskan nama julukannya. Cukup.

    Kemudian, ada lagi hal yang bagiku terasa kurang pas. Penulis kurang tepat dalam sex switch. Penulis yang berjenis kelamin perempuan berupaya menjadi sosok laki-laki lewat tokoh Gilang. Sayang, perannya kurang pas. Gilang malah kayak perempuan. Ya dialognya, ya cara mikirnya, ya perilakunya. Di novel dia sebelumnya, si penulis juga kurang pas "melaki-lakikan" tokohnya.

    Aku bingung, motif kemunculan si Goldilocks itu apa ya? Misi dia dalam keseluruhan isi cerita? Aku melihat dia semacam figuran, doang yang sekadar numpang lewat memenuhi novel.

    Yap, London itu seperti berkata: jodohmu bukan dia (Ning), bukan pula dia (Goldilocks), tetapi dia (Ayu)?

    ReplyDelete
  3. Kehebatan Windry Ramadhina adalah selalu berhasil bercerita dengan sudut pandang laki-laki tapi nggak terkesan feminin. Suka sama unsur magisnya. Dan suka banget sama Mr. Lowesley ^_^
    Kata ANGEL dalam judulnya itu ambiguitas yang mengesankan. Itu bisa berarti sang gadis Goldilocks yang selalu hadir saat hujan (seperti kutipan di salah satu halaman, bahwa yang turun bersama hujan adalah malaikat), dan Itu juga merupakan akronim dari tokoh-tokoh penting dalam novel LONDON. Ayu, Ning, Gilang, Ellis, dan Lowesley. Novel ini jelas ditulis dengan konsep dan pertimbangan yang matang. Saya selalu suka dengan cara Windry menuliskan detil. Teknik naratifnya nggak "sekadar"nya.

    ReplyDelete
  4. Jadi penasaran sama Goldilock, siapakah dia? dan apa tujuan kehadirannya?

    ReplyDelete
  5. Waaah...bukunya Windry R yah? Selalu suka sama tulisannya. Cuman covernya gak begitu menarik yah, hihihi...
    Tapi baca review-nya jadi pengen beli..huhuhu...

    ReplyDelete
  6. semua buku kak windry romancenya emang gimana gitu ya, tema nya simpel tapi diramu sedemikian rupa biar para pembaca dibuat senyum senyum sendiri. interlude juga keren. Udah baca belum :) ?

    ReplyDelete
  7. Membaca review ini semakin membuatku penasaran dengan novel kak windry terutama London ini. Terlepas dari segala kekurangan buku ini, aku setuju dengan rating yang kakak berikan (walau belum pernah membaca bukunya). Salah satu alasanku adalah karena penulisnya mengambil setting tempat di negara lain, terlebih London. Apalagi keseluruhan latar tempatnya di dominasi dengan London. Menurut pandanganku, seorang penulis bisa dikatakan begitu berani saat menulis sebuah cerita berlatar tempat di suatu negara lain yang bukan tempat ia berasal. Karena si penulis harus benar-benar bisa mendeskripsikannya agar pembaca terhanyut dalam pesona, budaya, atau pun gaya hidup di lingkungan setempat yang disuguhkan oleh negara tersebut. Terlebih lagi, butuh penjabaran detail di setiap tempat yang dikunjungi oleh para tokoh dan bukan sekadar 'tempelan' belaka. Tantangan tersendiri untuk para penulis membuat pembaca seakan-akan sedang berada disana dengan kentalnya suasana yang khas dari negara yang dijadikan latar suatu buku. Dan aku sangat mengapresiasi hal ini :)

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkomentar. Komentar sengaja dimoderasi untuk menghindari spam.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...